
editormedan.com – Mantan Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumatera Utara, Aris Yudhariansyah (54), menghadapi tuntutan sembilan tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menilai bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 pada tahun 2020.
“Terdakwa terbukti memenuhi unsur-unsur melakukan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Dinas Kesehatan Sumut tahun 2020 sebagaimana dakwaan primer,” ujar JPU Erick Sarumaha dalam persidangan yang berlangsung pada Kamis (13/2).
Selain menuntut hukuman sembilan tahun penjara, jaksa juga meminta agar Aris dijatuhi denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan jika tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Tidak hanya itu, JPU juga menuntut agar terdakwa membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp10 miliar. Jika tidak mampu membayar dalam jangka waktu yang ditentukan, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kerugian negara. Apabila tidak mencukupi, maka hukuman penjara tambahan selama empat tahun akan dikenakan.
Kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan dalam pengadaan APD yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Sumut saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada tahun 2020. Saat itu, pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan dana besar untuk penanggulangan pandemi, termasuk pembelian APD untuk tenaga kesehatan di Sumut. Namun, dalam prosesnya, ditemukan berbagai kejanggalan yang mengarah pada praktik korupsi.
Menurut hasil penyelidikan, pengadaan APD tersebut dilakukan dengan markup harga yang sangat tinggi, bahkan ada indikasi bahwa sebagian alat yang dibeli tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Jaksa mengungkapkan bahwa tindakan ini menyebabkan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Dalam dakwaan, disebutkan bahwa Aris Yudhariansyah bekerja sama dengan beberapa pihak dalam mengatur proyek pengadaan APD ini. Ia diduga telah menunjuk perusahaan tertentu sebagai penyedia APD tanpa melalui proses lelang yang transparan. Perusahaan yang dimaksud diketahui memiliki keterkaitan dengan orang-orang di lingkungan terdakwa.
Aris sendiri dalam persidangan membantah terlibat dalam praktik korupsi ini. Ia mengklaim hanya menjalankan tugas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Namun, jaksa menegaskan bahwa bukti-bukti yang ada menunjukkan peran aktif terdakwa dalam proses pengadaan yang merugikan negara.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan dana yang seharusnya digunakan untuk penanganan pandemi. Banyak pihak yang mengecam tindakan korupsi yang dilakukan di tengah krisis kesehatan, mengingat APD merupakan kebutuhan utama bagi tenaga medis yang berjuang di garis depan melawan COVID-19.
Pakar hukum pidana, Dr. Bambang Suharto, menilai bahwa tuntutan yang diajukan jaksa cukup berat, mengingat kasus ini berkaitan dengan penyalahgunaan dana darurat pandemi. “Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran bencana. Jika terbukti bersalah, hukuman yang berat harus diberikan untuk memberikan efek jera,” ujarnya.
Selain itu, masyarakat juga berharap agar kasus ini dapat diusut hingga tuntas. Dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus ini harus terus diselidiki agar tidak ada pelaku yang lolos dari jerat hukum. Kejaksaan sendiri telah mengisyaratkan bahwa mereka masih mendalami keterlibatan sejumlah pejabat lain yang mungkin ikut menikmati hasil korupsi ini.
Persidangan terhadap Aris Yudhariansyah akan berlanjut dengan agenda pembelaan dari pihak terdakwa. Pengacara Aris menyatakan bahwa kliennya akan mengajukan pembelaan atas tuntutan yang diberikan jaksa, dan berharap majelis hakim mempertimbangkan semua aspek dalam kasus ini sebelum menjatuhkan putusan.
Kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi yang terjadi di sektor kesehatan selama pandemi COVID-19. Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah lain, menunjukkan bahwa banyak pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi darurat.
Masyarakat kini menantikan putusan akhir dari majelis hakim. Jika terbukti bersalah, diharapkan hukuman yang dijatuhkan dapat menjadi pelajaran bagi pejabat lainnya agar tidak menyalahgunakan wewenang dalam pengelolaan dana publik.
Pemerintah dan aparat penegak hukum pun diminta untuk meningkatkan pengawasan dalam pengadaan barang dan jasa, terutama dalam situasi darurat, agar kasus serupa tidak terulang di masa depan.