
EDITORMEDAN.COM – Dua remaja berinisial YS (18) dan IPP (18) menjadi sasaran amuk massa setelah kedapatan menjambret telepon genggam seorang penumpang angkutan kota (angkot) di Jalan Stasiun, Kelurahan Belawan II, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan. Kejadian yang berlangsung dramatis ini terjadi pada Jumat malam (6/6/2025) sekitar pukul 21.00 WIB, menyisakan pelajaran keras tentang konsekuensi tindak kriminal di tengah masyarakat.
Menurut Pelaksana Harian (Plh) Kapolres Pelabuhan Belawan AKBP Wahyudi Rahman, korban penjambretan adalah seorang wanita bernama Ambarwani Putri (24) yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Jalan Krakatau menggunakan angkot Mitra 30. Saat itulah, dua pelaku yang mengendarai sepeda motor tiba-tiba menyambar ponsel yang sedang digunakan korban melalui jendela angkot yang terbuka.
Aksi nekat kedua penjambret ini berakhir tragis ketika motor yang mereka kendarai oleng dan terjatuh setelah mencoba melarikan diri. Momentum ini dimanfaatkan warga sekitar yang langsung mengejar dan mengeroyok keduanya. Dalam hitungan menit, kerumunan massa semakin membesar dan dua pelaku pun babak belur dihajar oleh warga yang geram melihat tindak kriminal tersebut.
Saksi mata yang enggan disebutkan namanya menuturkan, aksi balas dendam massa berlangsung cepat dan spontan. “Begitu lihat motor mereka jatuh, warga langsung mengepung dan memukuli. Ada yang pakai kayu, ada yang tendang, emosi masyarakat memang sudah memuncak melihat seringnya kejadian jambret di sini,” ujarnya.
Polisi yang mendapat laporan kejadian segera bergerak cepat ke lokasi untuk menenangkan massa dan menyelamatkan dua pelaku dari amukan warga. Kedua remaja itu kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis akibat luka-luka yang diderita selama dihakimi massa.
AKBP Wahyudi Rahman mengimbau masyarakat untuk tidak main hakim sendiri meskipun memahami kemarahan warga terhadap aksi kriminalitas. “Kami memahami keresahan masyarakat, namun tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan. Biarkan proses hukum yang bekerja,” tegasnya dalam konferensi pers.
Kasus ini menambah daftar panjang insiden main hakim sendiri di Medan yang sering terjadi sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap maraknya tindak kriminal. Data kepolisian menunjukkan setidaknya ada 5 kasus serupa sepanjang tahun 2025 di wilayah Medan Belawan saja, dimana pelaku kejahatan jalanan menjadi sasaran amuk massa.
Psikolog sosial dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Rina Manurung, menganalisis bahwa fenomena main hakim sendiri mencerminkan dua hal: pertama, rasa frustasi masyarakat terhadap sistem hukum yang dianggap lamban, dan kedua, mekanisme pertahanan komunal terhadap gangguan keamanan. “Masyarakat merasa perlu mengambil alih karena tidak percaya penanganan hukum akan efektif,” jelasnya.
Korban penjambretan, Ambarwani Putri, mengaku trauma dengan kejadian tersebut. “Saya kaget sekali, HP saya tiba-tiba direbut dari tangan. Yang lebih membuat syok justru melihat pelakunya dipukuli ramai-ramai,” ujarnya saat ditemui di rumahnya. Meski demikian, ia mengaku bersyukur barangnya bisa kembali setelah aksi massa tersebut.
Kapolda Sumut Irjen RZ Panca Putra Simanjuntak menanggapi kejadian ini dengan serius. Ia memerintahkan jajarannya untuk meningkatkan patroli di kawasan rawan kriminal, khususnya di sekitar Belawan. “Kami akan kerahkan Buser dan tim pre-emptive untuk mencegah pengulangan kejadian serupa,” janjinya.
Dari sisi hukum, kedua pelaku saat ini masih dirawat di rumah sakit sambil menunggu proses penyidikan lebih lanjut. Mereka terancam pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan yang ancaman hukumannya mencapai 7 tahun penjara.
Tokoh masyarakat Belawan, Maruli Sitorus, menyesalkan kejadian ini tetapi memahami kemarahan warga. “Sudah terlalu sering warga kami jadi korban jambret. Tapi saya tetap minta warga serahkan ke polisi,” ucapnya sambil berharap ada solusi jangka panjang untuk masalah kriminalitas di wilayahnya.
Pemerhati masalah sosial, Dr. Ahmad Syafii, menyarankan perlunya pendekatan multidimensi untuk mengatasi akar masalah kriminalitas remaja. “Faktor ekonomi, pendidikan, dan lingkungan harus jadi perhatian. Penindakan hukum saja tidak cukup tanpa pencegahan,” paparnya.
Kasus ini kembali memantik perdebatan tentang efektivitas hukuman sosial versus proses hukum formal. Sementara sebagian masyarakat mendukung tindakan tegas warga, para ahli hukum tetap menekankan pentingnya mengedepankan proses peradilan yang fair.
Kepolisian kini tengah mendalami apakah ada jaringan penjambret yang lebih besar di balik kedua remaja ini. Investigasi juga dilakukan untuk melacak apakah ada barang bukti lain atau modus operandi yang lebih terorganisir.
Sebagai penutup, insiden ini menyisakan pelajaran berharga tentang pentingnya sinergi antara penegak hukum dan masyarakat dalam menciptakan keamanan. Sementara aparat berjanji meningkatkan pengamanan, warga diharapkan bisa lebih percaya pada proses hukum yang ada.