Gubernur Sumut Sarankan Penyelesaian Sengketa Pulau Perbatasan ke Pemerintah Pusat

EDITORMEDAN.COM – Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Afif Nasution, menegaskan bahwa polemik terkait klaim kepemilikan pulau di perbatasan antara Sumut dan Aceh harus diselesaikan melalui koordinasi dengan pemerintah pusat. Menurutnya, pembahasan di tingkat regional tidak akan membuahkan solusi konkret tanpa intervensi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Bobby menyampaikan hal tersebut usai bertemu dengan Gubernur Aceh beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan bahwa meskipun kedua provinsi telah berupaya berdiskusi, penyelesaian definitif hanya bisa dicapai melalui keputusan pemerintah pusat. “Masalah kepemilikan pulau ini harus diserahkan ke Kemendagri karena menyangkut kebijakan nasional,” ujarnya di Medan, Kamis (12/6/2025).

Polemik ini muncul akibat klaim tumpang tindih atas beberapa pulau kecil di perbatasan kedua provinsi. Masyarakat di Sumut dan Aceh sama-sama menganggap pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administrasinya, sehingga memicu ketegangan sosial. Bobby menekankan bahwa pendekatan emosional atau debat tanpa dasar hukum hanya akan memperkeruh situasi.

Ia mencontohkan bahwa pembahasan di tingkat lokal, meskipun intensif, tidak akan menyelesaikan masalah karena kedua pihak memiliki dokumen dan argumen hukum yang berbeda. “Mau kita bahas dari pagi sampai pagi pun, tanpa keputusan pusat, tidak akan ada titik temu,” tegas Bobby. Oleh karena itu, ia mendorong agar Kemendagri segera mengambil langkah klarifikasi.

Gubernur Aceh sebelumnya juga menyatakan kesediaannya untuk berkoordinasi dengan Sumut, tetapi sepakat bahwa keputusan akhir harus berasal dari pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan kesadaran bersama bahwa sengketa batas wilayah adalah isu sensitif yang membutuhkan penyelesaian secara struktural, bukan hanya melalui kesepakatan informal.

Bobby menambahkan bahwa pemerintah provinsi siap menyiapkan semua data dan dokumen pendukung untuk diajukan ke Kemendagri. “Kami akan mengumpulkan peta historis, catatan administratif, dan bukti lain yang diperlukan agar pemerintah pusat bisa menilai secara objektif,” jelasnya. Langkah ini diharapkan mempercepat proses verifikasi dan penetapan batas yang sah.

Di sisi lain, sejumlah anggota DPRD Sumut mendukung sikap Gubernur Bobby dan meminta agar proses ini tidak dipolitisasi. Mereka menekankan bahwa kepentingan masyarakat di kedua provinsi harus diutamakan, bukan ego sektoral. “Jangan sampai masyarakat jadi korban karena perdebatan yang berlarut-larut,” kata salah satu legislator.

Pakar hukum tata negara, Prof. Ahmad Syafii, menyatakan bahwa sengketa semacam ini seharusnya diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 12 dalam UU tersebut menyebutkan bahwa penetapan dan perubahan batas wilayah adalah kewenangan presiden, setelah mempertimbangkan rekomendasi Kemendagri dan DPR.

Masyarakat di perbatasan Sumut-Aceh pun mengharapkan penyelesaian segera. Sebagian dari mereka mengaku kesulitan mengakses layanan publik karena status wilayah yang tidak jelas. “Kami sering bingung, urusan administrasi harus ke mana. Pemerintah pusat harus segera menetapkan batas yang pasti,” keluh seorang warga di Kabupaten Langkat.

Sejarah mencatat bahwa sengketa perbatasan antara Sumut dan Aceh bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, perselisihan serupa sempat muncul terkait wilayah di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Aceh Singkil. Kala itu, Kemendagri turun tangan dan akhirnya menetapkan keputusan yang mengikat kedua belah pihak.

Bobby Afif Nasution optimistis bahwa solusi damai dapat dicapai asalkan semua pihak mengedepankan dialog dan kepatuhan terhadap hukum. Ia juga berjanji akan memastikan masyarakat tidak dirugikan selama proses penyelesaian berlangsung. “Kami akan terus berkoordinasi dengan Pemda Aceh dan pusat untuk menghindari konflik horizontal,” tambahnya.

Kemendagri sendiri melalui Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan menyatakan telah memantau perkembangan kasus ini. “Kami sedang mengkaji data dari kedua provinsi dan akan menggelar rapat koordinasi untuk memutuskan penetapan batas,” ujar perwakilan Kemendagri. Namun, mereka belum dapat memastikan timeline penyelesaiannya.

Sementara itu, akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Rina Sari, menyarankan agar pemerintah pusat tidak hanya menetapkan batas administratif, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi. “Penetapan batas harus dibarengi dengan program pemberdayaan masyarakat perbatasan agar tidak menimbulkan kesenjangan baru,” paparnya.

Harapan besar kini tertumpu pada Kemendagri untuk segera mengambil langkah tegas. Penyelesaian sengketa ini tidak hanya penting bagi kepastian hukum, tetapi juga untuk stabilitas pembangunan di kedua provinsi. Seperti dikatakan Bobby, “Keputusan pusat adalah final, dan kami siap menerimanya demi kemajuan bersama.”

Dengan demikian, kolaborasi antara pemerintah daerah dan pusat menjadi kunci untuk mengakhiri polemik yang telah berlangsung cukup lama. Masyarakat pun berharap agar solusi yang adil dan berkelanjutan segera terwujud.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *