Anjloknya Harga Cabai Merah di Sumut: Penyebab dan Dampak bagi Petani dan Pasar

EDITORMEDAN.COM –Harga cabai merah di Sumatera Utara (Sumut) terus mengalami penurunan signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Di sejumlah pasar tradisional, harga komoditas ini bahkan terjun bebas hingga di bawah Rp 20 ribu per kilogram, jauh di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 55 ribu per kg. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan petani dan pedagang yang mengandalkan cabai sebagai sumber penghasilan utama.

Di Pasar Lau Dendang, Kabupaten Deli Serdang, harga cabai merah saat ini berkisar antara Rp 20 ribu hingga Rp 23 ribu per kg. Irma, salah seorang pedagang di pasar tersebut, mengaku kesulitan mendapatkan keuntungan yang layak. “Harga cabai merah terus turun selama sebulan terakhir. Kami terpaksa menjualnya Rp 20 ribu per kg karena stok melimpah. Kalau kami naikkan harganya, pembeli tidak mau beli,” ujarnya kepada detikSumut pada Kamis (12/6/2025).

Penurunan harga ini terjadi bersamaan dengan masa panen raya cabai di beberapa sentra produksi di Sumut. Pasokan yang melimpah ke pasar membuat harga komoditas ini semakin tertekan. Padahal, di awal tahun, harga cabai sempat melambung tinggi hingga mendekati Rp 80 ribu per kg akibat cuaca ekstrem yang mengganggu produksi.

Para petani cabai di daerah seperti Karo, Simalungun, dan Deli Serdang mengeluhkan kerugian yang mereka alami. Salah seorang petani dari Kabupaten Karo, Sitorus, mengatakan bahwa biaya produksi cabai saat ini tidak sebanding dengan harga jual. “Kami menghabiskan sekitar Rp 15 ribu-Rp 18 ribu untuk memproduksi satu kilogram cabai. Dengan harga jual sekarang, untungnya sangat tipis,” keluhnya.

Dinas Pertanian Sumut menyatakan bahwa penurunan harga cabai merupakan siklus tahunan yang biasanya terjadi pada pertengahan tahun. Namun, kali ini penurunannya lebih tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kepala Dinas Pertanian Sumut, Ir. Hasan Basri, menjelaskan bahwa faktor cuaca yang mendukung pertumbuhan cabai turut berkontribusi pada melimpahnya pasokan.

Selain faktor musiman, penurunan harga juga diduga dipengaruhi oleh menurunnya daya beli masyarakat. Beberapa pedagang di Pasar Petisah Medan mengaku bahwa permintaan cabai merah cenderung stagnan meskipun harganya turun. “Orang-orang mungkin lebih memilih kebutuhan pokok lain karena situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya,” kata seorang pedagang.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sebenarnya telah menetapkan HET cabai merah sebesar Rp 55 ribu per kg untuk melindungi konsumen dari lonjakan harga. Namun, mekanisme ini tidak berlaku ketika harga justru jatuh di bawah batas minimum. Akibatnya, petani dan pedagang kecil harus menanggung kerugian sendiri.

Asosiasi Petani Cabai Indonesia (APCI) Sumut mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah intervensi. Mereka mengusulkan pembelian langsung hasil panen petani oleh Bulog atau pembentukan lumbung cabai untuk menstabilkan harga. “Jika tidak ada intervensi, petani bisa bangkrut dan beralih ke komoditas lain,” ujar Ketua APCI Sumut, Maruli Sinaga.

Di sisi lain, konsumen justru diuntungkan dengan harga cabai yang terjangkau. Ibu-ibu rumah tangga di Medan mengaku bisa lebih leluasa membeli cabai untuk kebutuhan sehari-hari. “Biasanya beli sedikit saja karena mahal, sekarang bisa beli lebih banyak untuk dibuat sambal atau bumbu masak,” kata Siti, seorang ibu rumah tangga di Medan Selayang.

Namun, kondisi ini dikhawatirkan hanya bersifat sementara. Para analis pasar memprediksi harga cabai akan kembali naik memasuki akhir tahun seiring dengan berkurangnya pasokan dan meningkatnya permintaan. Fluktuasi harga yang ekstrem seperti ini dinilai merugikan seluruh pihak, baik petani, pedagang, maupun konsumen dalam jangka panjang.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pakar menyarankan perlunya sistem pemasaran yang lebih terintegrasi antara petani dan pasar. Dengan adanya kontrak jangka panjang antara petani dan pembeli, fluktuasi harga bisa diminimalisir. Selain itu, pengembangan industri pengolahan cabai juga dianggap bisa menjadi solusi untuk menyerap kelebihan produksi.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut berencana mengadakan pelatihan pengolahan cabai bagi petani. “Kami ingin petani tidak hanya menjual cabai segar, tapi juga bisa mengolahnya menjadi produk bernilai tambah seperti bubuk cabai atau saus,” ujar Kepala Dinas, Drs. Ahmad Yani. Langkah ini diharapkan bisa memberikan alternatif pendapatan saat harga anjlok.

Sementara itu, para pedagang berharap agar pemerintah bisa memberikan bantuan modal atau keringan pajak bagi mereka yang terdampak penurunan harga. “Kami butuh suntikan modal untuk bertahan sampai harga kembali normal,” ujar Irma, pedagang di Pasar Lau Dendang.

Penurunan harga cabai di Sumut ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya sistem pertanian yang lebih resilien. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah dan inisiatif dari pelaku usaha, diharapkan fluktuasi harga komoditas pertanian bisa dikelola dengan lebih baik di masa depan.

Sebagai penutup, kondisi ini mengingatkan semua pihak akan pentingnya keseimbangan antara produksi dan distribusi komoditas pertanian. Kerja sama antara petani, pedagang, pemerintah, dan konsumen sangat dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem pertanian yang stabil dan berkelanjutan di Sumatera Utara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *