
Editormedan.com – Gaya hidup hedon para istri pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Medan menuai sorotan publik. Beberapa waktu lalu, istri Kepala Dinas dan Kepala Badan di Pemkot Medan diketahui melakukan perjalanan ke luar negeri, memamerkan kemewahan yang berbanding terbalik dengan kondisi para guru honorer di kota tersebut.
Ironisnya, di tengah gaya hidup mewah yang dipertontonkan, para guru honorer di Medan justru mengalami kesulitan karena belum menerima hak mereka selama empat bulan terakhir. Sejak November 2024 hingga Februari 2025, gaji yang seharusnya menjadi hak tenaga pendidik ini belum juga dicairkan oleh pemerintah daerah.
Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, para guru yang tergabung dalam Forum Guru Bersatu (FGB) akhirnya mengajukan surat audiensi kepada Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Selain itu, mereka juga mengirimkan surat kepada Pimpinan DPRD Kota Medan, Inspektorat Kota Medan, Menteri Keuangan Republik Indonesia, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengadukan ketidakadilan yang mereka alami.
Ketua FGB, dalam pernyataan resminya, menyampaikan bahwa para guru honorer sudah berulang kali mencoba menghubungi pihak terkait, namun belum mendapat kepastian mengenai pencairan gaji mereka. “Kami sudah sangat bersabar menunggu hak kami, tapi hingga kini belum ada kepastian. Sementara kebutuhan hidup terus berjalan, banyak dari kami yang harus berutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar perwakilan FGB.
Kondisi ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam di kalangan tenaga pengajar. Mereka merasa bahwa profesi mereka sebagai pendidik tidak mendapatkan penghargaan yang layak dari pemerintah daerah. Padahal, mereka memiliki peran penting dalam mencerdaskan generasi muda di Kota Medan.
Di sisi lain, publik semakin geram setelah mengetahui gaya hidup para istri pejabat yang tampak tidak peka terhadap kondisi ini. Beberapa unggahan di media sosial memperlihatkan istri-istri pejabat berlibur ke luar negeri, mengenakan barang-barang bermerek, dan menikmati fasilitas mewah. Hal ini memicu pertanyaan besar tentang penggunaan anggaran daerah dan apakah ada indikasi penyalahgunaan dana yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan tenaga pendidik.
Pihak DPRD Kota Medan akhirnya angkat bicara terkait polemik ini. Salah satu anggota DPRD Medan menyatakan akan segera memanggil dinas terkait untuk meminta klarifikasi mengenai keterlambatan pembayaran gaji guru honorer. “Kami akan memastikan bahwa hak para guru segera dibayarkan. Ini masalah serius yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut,” katanya.
Sementara itu, Wali Kota Medan, Bobby Nasution, belum memberikan tanggapan resmi mengenai polemik ini. Namun, banyak pihak berharap bahwa sebagai pemimpin daerah, ia dapat segera turun tangan dan memberikan solusi konkret bagi para tenaga pendidik yang tengah mengalami kesulitan.
Kondisi ini juga menjadi perhatian KPK, terutama dalam hal transparansi penggunaan anggaran daerah. Beberapa pengamat kebijakan publik menilai bahwa perlu ada audit lebih lanjut mengenai alokasi anggaran di lingkungan Pemkot Medan untuk memastikan tidak ada penyimpangan yang merugikan tenaga pendidik dan pegawai honorer lainnya.
Menurut data yang dihimpun, kasus keterlambatan pembayaran gaji tenaga honorer di Medan bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, pada tahun 2023, masalah serupa juga sempat mencuat, meskipun akhirnya diselesaikan setelah adanya tekanan dari berbagai pihak. Namun, fakta bahwa kejadian ini terus berulang menunjukkan adanya permasalahan sistemik yang perlu segera diperbaiki.
Beberapa guru honorer yang ditemui menyatakan bahwa mereka berharap pemerintah daerah dapat memberikan kepastian mengenai kapan hak mereka akan diberikan. “Kami hanya ingin dibayar sesuai hak kami. Kami sudah bekerja, mengajar, mendidik anak-anak, tapi kenapa hak kami masih ditahan?” ujar salah satu guru dengan nada kecewa.
Publik pun mulai mendesak agar pemerintah Kota Medan lebih transparan dalam mengelola anggaran dan memastikan bahwa dana untuk kesejahteraan tenaga pendidik tidak lagi terhambat. Masyarakat berharap agar kejadian seperti ini tidak terus berulang dan tenaga pendidik mendapatkan hak mereka tepat waktu.
Sebagai langkah lanjut, FGB berencana untuk menggelar aksi damai jika dalam waktu dekat tidak ada kepastian dari pemerintah mengenai pembayaran gaji yang tertunda. “Kami tidak ingin demo, kami hanya ingin mengajar dengan tenang. Tapi kalau hak kami terus diabaikan, kami tidak punya pilihan lain,” ujar perwakilan guru honorer.
Situasi ini menjadi gambaran nyata ketimpangan sosial yang terjadi di Kota Medan. Sementara pejabat dan keluarganya menikmati fasilitas mewah, para tenaga pendidik yang berjuang mencerdaskan generasi bangsa justru harus menghadapi ketidakpastian ekonomi. Ke depan, publik berharap ada reformasi dalam kebijakan anggaran daerah agar kejadian serupa tidak terulang kembali.