
Editormedan.com – Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sumatera Utara, Yuliani Siregar, menjadi sorotan setelah dilaporkan ke pihak kepolisian oleh PT Tun Sewindu. Laporan tersebut diajukan menyusul tindakan Yuliani yang membongkar pagar seng di kawasan pesisir Deli Serdang. Kejadian ini memicu perdebatan publik mengenai kepatuhan terhadap aturan dan wewenang pemerintah dalam mengatur tata ruang wilayah pesisir.
Menurut informasi yang beredar, pagar seng tersebut didirikan oleh PT Tun Sewindu di area pesisir yang dianggap sebagai kawasan publik. Yuliani Siregar, sebagai kepala dinas yang bertanggung jawab atas lingkungan hidup dan kehutanan, mengambil langkah tegas dengan membongkar pagar tersebut. Ia beralasan bahwa pagar tersebut menghalangi akses masyarakat ke pesisir dan diduga melanggar peraturan tata ruang.
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menanggapi kasus ini dengan sikap tegas. Ia menyatakan bahwa jika pagar tersebut memang melanggar aturan, maka tindakan tegas harus diambil. “Kalau salah ya ditindak lah,” ujar Bobby saat ditemui di Medan pada Sabtu, 8 Maret 2025. Pernyataan ini menunjukkan dukungannya terhadap langkah yang diambil oleh Yuliani Siregar, meskipun hal tersebut berujung pada laporan polisi.
PT Tun Sewindu, sebagai pihak yang merasa dirugikan, mengklaim bahwa pembongkaran pagar dilakukan tanpa pemberitahuan resmi. Perusahaan tersebut menganggap tindakan Yuliani sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak mereka. Mereka juga menegaskan bahwa pagar tersebut didirikan untuk melindungi aset perusahaan dan tidak bermaksud menghalangi akses publik.
Kasus ini memunculkan pertanyaan mengenai batasan wewenang pemerintah dalam menegakkan aturan tata ruang. Di satu sisi, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi kawasan publik dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan. Di sisi lain, perusahaan juga memiliki hak untuk melindungi kepentingan bisnis mereka. Konflik ini menjadi contoh nyata dari kompleksitas pengelolaan tata ruang di Indonesia.
Masyarakat pesisir Deli Serdang sendiri terbelah dalam menyikapi kasus ini. Sebagian mendukung tindakan Yuliani Siregar, menganggap bahwa pagar tersebut telah menghalangi akses mereka ke laut, yang merupakan sumber penghidupan utama. Namun, ada juga yang mempertanyakan apakah pembongkaran pagar dilakukan dengan prosedur yang benar dan sesuai dengan hukum.
Yuliani Siregar, dalam pernyataannya, menegaskan bahwa tindakannya didasarkan pada kepentingan publik dan kepatuhan terhadap aturan. Ia menyatakan bahwa pembongkaran pagar dilakukan setelah melalui proses evaluasi dan pertimbangan yang matang. “Kami hanya menjalankan tugas untuk melindungi kawasan pesisir yang merupakan milik bersama,” ujarnya.
Di tengah kontroversi ini, Bobby Nasution menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah dan pihak swasta dalam mengelola tata ruang. Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi yang adil tanpa harus berujung pada konflik hukum. “Kita harus bisa bekerja sama untuk kepentingan bersama,” tambahnya.
Kasus ini juga menyoroti perlunya peninjauan ulang terhadap peraturan tata ruang di kawasan pesisir. Banyak pihak berpendapat bahwa aturan yang ada saat ini masih ambigu dan rentan menimbulkan konflik. Oleh karena itu, diperlukan revisi dan sosialisasi yang lebih intensif agar semua pihak dapat memahami dan mematuhinya.
Sementara itu, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan terhadap laporan yang diajukan oleh PT Tun Sewindu. Mereka akan memeriksa apakah tindakan Yuliani Siregar melanggar hukum atau tidak. Hasil penyelidikan ini akan menjadi penentu dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.
Dampak dari kasus ini tidak hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat langsung, tetapi juga oleh masyarakat luas. Kasus ini menjadi pembelajaran penting tentang pentingnya transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Di sisi lain, aktivis lingkungan mendukung langkah yang diambil oleh Yuliani Siregar. Mereka menganggap bahwa pembongkaran pagar merupakan bentuk perlindungan terhadap ekosistem pesisir yang rentan terhadap kerusakan. “Kawasan pesisir harus dijaga untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir pihak,” tegas salah satu aktivis.
Bobby Nasution juga mengingatkan bahwa pembangunan harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. “Kita tidak boleh mengorbankan lingkungan hanya untuk kepentingan ekonomi jangka pendek,” ujarnya. Pernyataan ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menjadi acuan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengelolaan tata ruang di Sumatera Utara. Dengan adanya koordinasi yang baik antara semua pihak, diharapkan konflik serupa dapat dihindari di masa depan. “Kita harus belajar dari kasus ini agar tidak terulang lagi,” kata Bobby.
Sebagai penutup, kasus pembongkaran pagar di pesisir Deli Serdang ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kepentingan publik, swasta, dan lingkungan. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan tata kelola yang adil dan berkelanjutan. Hanya dengan cara ini, pembangunan dapat berjalan harmonis tanpa mengorbankan kepentingan salah satu pihak.