USU Masuk Kategori Risiko Tinggi Integritas Riset, Red Flag RI² Jadi Alarm Serius

EDITORMEDAN.COM – Universitas Sumatera Utara (USU) kembali menjadi sorotan publik setelah masuk dalam kategori “Red Flag” dalam laporan Research Integrity Risk Index (RI²) edisi Juni 2025. Laporan tersebut mencatat skor USU sebesar 0.400, yang tergolong sebagai tingkat risiko tertinggi terhadap integritas riset akademik. Temuan ini menimbulkan keprihatinan serius, tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat luas yang menaruh harapan besar pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Skor 0.400 dalam indeks RI² bukanlah sekadar angka, melainkan indikator bahwa USU sedang menghadapi krisis kepercayaan dalam dunia riset. Indeks ini mengukur berbagai aspek seperti prevalensi plagiarisme, keterlibatan dalam jurnal predator, manipulasi data, serta kualitas sistem pengawasan akademik. Masuknya USU dalam zona merah menunjukkan bahwa masalah integritas riset di kampus ini bersifat sistemik dan memerlukan penanganan segera.

Temuan RI² menyebutkan bahwa indikasi pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh individu peneliti, tetapi juga melibatkan struktur kelembagaan. Dalam catatan laporan, terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah publikasi dosen USU yang ditemukan di jurnal-jurnal tidak bereputasi, atau bahkan diduga menggunakan layanan paper mill. Hal ini memperkuat asumsi bahwa ada celah serius dalam sistem kendali mutu penelitian di lingkungan kampus.

Kondisi ini bukannya tanpa preseden. Antara tahun 2013 hingga 2015, USU sempat terguncang akibat kasus-kasus serupa. Beberapa dosen bahkan dilaporkan tersandung tuduhan plagiarisme dalam disertasi dan publikasi ilmiah mereka. Ironisnya, dalam beberapa kasus, pimpinan kampus saat itu — termasuk rektor — juga terseret dalam pusaran pelanggaran etik akademik.

Status “Red Flag” pada laporan RI² seharusnya menjadi momentum bagi pihak rektorat dan seluruh civitas akademika USU untuk melakukan refleksi mendalam dan koreksi struktural. Kampus yang selama ini dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi besar di Indonesia tidak bisa membiarkan praktik menyimpang tersebut berlangsung tanpa penindakan tegas.

Pakar etika akademik dari Universitas Indonesia, Prof. R. Sudarmaji, menyatakan bahwa skor RI² 0.400 harus dipandang sebagai “alarm darurat.” Menurutnya, lembaga pendidikan tinggi wajib menjaga marwah keilmuan dan integritas akademik sebagai pilar utama peradaban. “Tanpa integritas, gelar akademik hanya akan menjadi formalitas belaka. Ini berbahaya bagi masa depan bangsa,” tegasnya.

Di sisi lain, mahasiswa sebagai bagian vital dari kehidupan kampus juga mulai bersuara. Melalui Aliansi Mahasiswa Peduli Integritas Akademik (AMPIA), mereka mendesak rektorat untuk membentuk tim independen guna menelusuri praktik plagiarisme dan penyalahgunaan publikasi ilmiah di kalangan dosen. “Kami tidak ingin lulus dari kampus yang tercoreng reputasinya karena ulah segelintir oknum,” ujar Rizky Darmawan, ketua AMPIA.

Pihak rektorat USU, dalam pernyataan persnya, menyatakan bahwa mereka akan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penjaminan mutu riset di kampus. Rektor USU, Prof. Dr. Budi Haryanto, mengakui adanya kelemahan dalam pengawasan publikasi akademik selama beberapa tahun terakhir. Ia juga menyebutkan rencana pembentukan Research Integrity Task Force untuk menyelidiki dan menangani kasus yang ditemukan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) turut merespons laporan RI² dengan menyatakan akan melakukan audit khusus terhadap beberapa universitas yang masuk kategori “Red Flag,” termasuk USU. Menteri Nadiem Makarim menekankan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi tidak boleh dikompromikan.

RI² sendiri merupakan inisiatif dari lembaga independen yang memantau integritas riset di kawasan Asia Tenggara. Indeks ini disusun berdasarkan evaluasi ribuan publikasi dari perguruan tinggi, data pengaduan internal, serta laporan akademik global. Metodologinya telah diakui oleh banyak lembaga akreditasi dan penjamin mutu internasional.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa reputasi akademik tidak dibangun semata-mata dari kuantitas publikasi atau peringkat dunia, melainkan dari kualitas, kejujuran, dan akuntabilitas dalam proses ilmiah. USU, sebagai institusi publik, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melakukan pembenahan total demi menyelamatkan generasi akademik masa depan.

Jika dibiarkan, dampak dari rendahnya integritas riset bukan hanya merugikan nama baik kampus, tetapi juga merusak kepercayaan dunia terhadap hasil riset Indonesia. Dalam era globalisasi, setiap publikasi ilmiah berkontribusi terhadap wajah akademik bangsa di mata internasional.

Oleh karena itu, langkah nyata perlu segera dilakukan. Penguatan sistem review internal, pelatihan etika riset untuk dosen dan mahasiswa, serta penerapan sanksi tegas bagi pelanggar harus menjadi prioritas utama. Reformasi budaya akademik di lingkungan USU tidak bisa ditawar lagi.

Dalam jangka panjang, USU perlu kembali membangun kepercayaan publik melalui keterbukaan, akuntabilitas, dan dedikasi terhadap prinsip keilmuan yang jujur. Sebab, integritas riset bukan hanya soal reputasi, tetapi soal tanggung jawab akademik terhadap masyarakat, ilmu pengetahuan, dan masa depan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *