
EDITORMEDAN.COM – Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, mengemukakan gagasan revolusioner tentang peningkatan kesejahteraan guru dalam kunjungan kerja ke Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Jambi. Politikus yang konsen di bidang pendidikan ini menegaskan bahwa standar ideal gaji guru di Indonesia seharusnya mencapai Rp25 juta per bulan untuk menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas.
“Gaji guru standarnya harus Rp25 juta per bulan. Ini baru akan ideal di Indonesia, dan minat menjadi guru akan meningkat,” tegas Juliyatmono dalam pernyataan resminya yang dikutip dari laman situs DPR RI pada Jumat (9/5/2025). Pernyataan ini disampaikan dalam rangkaian kunjungan kerja Komisi X DPR untuk mengevaluasi mutu pendidikan di berbagai daerah.
Gagasan peningkatan gaji guru ini muncul setelah melihat berbagai permasalahan mendasar di dunia pendidikan Indonesia. Juliyatmono menjelaskan bahwa selama ini profesi guru belum menjadi pilihan utama generasi muda karena masalah kesejahteraan. “Banyak lulusan terbaik kita yang enggan menjadi guru karena pertimbangan ekonomi,” ujarnya.
Usulan ini bukan tanpa dasar. Komisi X DPR melakukan kajian komparatif dengan negara-negara yang memiliki sistem pendidikan maju. “Di negara dengan pendidikan terbaik dunia, guru adalah profesi yang sangat dihargai dengan gaji setara dokter atau insinyur,” papar Juliyatmono. Ia mencontohkan Singapura dan Finlandia yang menempatkan guru sebagai profesi prestisius dengan remunerasi tinggi.
Namun, wacana ini langsung menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian menyambut baik sebagai terobosan positif, sementara yang lain mempertanyakan kesiapan anggaran negara. “Ini usulan yang visioner tapi perlu dikaji matang dari sisi fiskal,” komentar pengamat ekonomi pendidikan dari UI, Prof. Dr. Arief Budiman.
Di sisi teknis, usulan ini akan membutuhkan perubahan besar dalam sistem penganggaran pendidikan. Saat ini, alokasi 20% APBN untuk pendidikan sebagian besar terserap untuk infrastruktur dan program, bukan untuk gaji guru. “Perlu restrukturisasi besar-besaran dalam alokasi anggaran pendidikan,” jelas Bendahara Komisi X DPR, Siti Mukaromah.
Terkait sumber pendanaan, Juliyatmono mengusulkan beberapa opsi. “Bisa dari optimalisasi anggaran pendidikan, peningkatan kontribusi pemerintah daerah, atau bahkan penciptaan dana khusus guru,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam merealisasikan gagasan ini.
Asosiasi Guru Seluruh Indonesia (AGSI) menyambut hangat usulan ini. “Ini akan menjadi terobosan sejarah jika terealisasi. Guru akan benar-benar fokus pada pengembangan kualitas mengajar tanpa terbebani urusan ekonomi,” ujar Ketua AGSI, Dudung Abdul Qodir. Namun, ia mengingatkan bahwa peningkatan gaji harus diiringi dengan peningkatan kualitas dan akuntabilitas kinerja guru.
Di lapangan, banyak guru yang menyatakan optimisme sekaligus keraguan. “Secara teori sangat membahagiakan, tapi kami khawatir ini hanya wacana politis belaka,” ungkap Sri Wahyuni, guru SMP di Jakarta dengan pengalaman mengajar 15 tahun. Ia menceritakan bagaimana selama ini guru harus mencari tambahan penghasilan melalui les privat atau usaha sampingan.
Pakar kebijakan publik, Dr. Rini Astuti, mengingatkan perlunya tahapan realistis dalam merealisasikan usulan ini. “Tidak bisa langsung Rp25 juta, tapi bisa dimulai dengan menaikkan bertahap dalam 5-10 tahun,” sarannya. Ia juga menekankan pentingnya diferensiasi gaji berdasarkan kualifikasi dan kinerja, bukan standar flat untuk semua guru.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, merespons usulan ini dengan hati-hati. “Kami apresiasi semangat meningkatkan kesejahteraan guru, tapi harus dikaji komprehensif dampaknya terhadap kesehatan fiskal,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa Kemenkeu sedang mempelajari berbagai skenario pendanaan yang mungkin.
Di sisi lain, kalangan industri justru melihat peluang dalam wacana ini. “Peningkatan gaji guru akan meningkatkan daya beli masyarakat dan berdampak positif pada perekonomian,” ujar Ketua Kamar Dagang Indonesia, Arsjad Rasjid. Ia memperkirakan akan terjadi peningkatan konsumsi di sektor ritel dan properti jika usulan ini terealisasi.
Tantangan terbesar justru datang dari pemerataan. Data menunjukkan disparitas besar antara guru di kota besar dan daerah terpencil. “Usulan ini harus disertai mekanisme yang adil untuk guru-guru di daerah tertinggal,” tegas Direktur Jenderal GTK Kemendikbudristek, Iwan Syahril.
Sebagai langkah awal, Komisi X DPR akan mengadakan serangkaian diskusi terpumpun dengan berbagai pemangku kepentingan. “Kami ingin mendengar masukan dari semua pihak sebelum merumuskan kebijakan yang matang,” kata Juliyatmono. Rencananya, usulan ini akan dibahas dalam rapat kerja dengan pemerintah pada bulan depan.
Terlepas dari berbagai tantangan, wacana ini telah memicu diskusi nasional tentang masa depan profesi guru di Indonesia. Banyak kalangan melihat ini sebagai momentum untuk melakukan lompatan besar dalam reformasi pendidikan. “Jika ingin pendidikan berkualitas, mulailah dengan menghargai guru secara layak,” pungkas Juliyatmono menutup pernyataannya.